Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu. Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi besoknya ia memberi tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. “Tuhan menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah.”
Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia sendiri, isterinya, kemenakannya dan bekas budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah nenek moyang mereka itu.
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!
Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang seorang pria yang rupawan. “Menjadi kesayangan masyarakatnya dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena ilmunya, karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang baik.”
Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. ‘Affan, Abdurrahman b. ‘Auf, Talha b. ‘Ubaidillah, Sa’d b. Abi Waqqash dan Zubair bin’l-‘Awwam mengikutinya pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu ‘Ubaida bin’l-Djarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.
Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan serupa ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin memperkuat iman kaum Muslimin.
Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. Pandangannya terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra. Malam haripun, dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada Allah. Dia. yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung kehidupannya sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya belum lagi disentuh iman.
Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria dan wanita.
Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan lebih dan kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss, Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan menang ialah Hubal, Lat dan ‘Uzza, begitu juga Isaf dan Na’ila yang dibawai kurban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat kemenangan.
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang:
“Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, ‘Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.'” (Qur’an 26: 214-216)
“Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu.”(Qur’an 15: 94)
Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu menyetop pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang mereka.
Selesai makan, katanya kepada mereka: “Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?”
Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit – ketika itu ia masih anak-anak, belum lagi balig.
“Rasulullah, saya akan membantumu,” katanya. “Saya adalah lawan siapa saja yang kautentang.”
Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan.
Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah. Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: “Hai masyarakat Quraisy.” Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: “Muhammad bicara dari atas Shafa.” Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, “Ada apa?”
“Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?”
“Ya,” jawab mereka. “Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta.”
“Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat,” katanya, “Banu Abd’l-Muttalib, Banu Abd Manaf, Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah.”
Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab – seorang laki-laki berbadan gemuk dan cepat naik darah – kemudian berdiri sambil meneriakkan: “Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan kami?”
Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat akan menggulungnya” (Qur’an 102:1-8)
Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang Islam – menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan terhadap jiwa.
“Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak. Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat neraka. Kemudian, tentu akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu.” (Qur’an 111: 1-3)
Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya! Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada Hubal, tak ada Lat, ‘Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusiapun, atau malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu – sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?
Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu.
Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin’l-Harith, ‘Amr bin’l-‘Ash dan Abdullah ibn’z-Ziba’ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayani.
Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti pada Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?
Tidak hanya sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ejekan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?
Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang kepada Muhammad menjawab debat mereka
“Katakanlah: ‘Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira bagi mereka yang beriman.” (Qur’an 7: 188)
Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal? ! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mujizat dari segala mujizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak?
Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya iapun takkan dapat mempertahankan diri.
Muhammadpun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia, sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar’n Nadwa,3 atau disekitar Ka’bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, ‘Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?
Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy – dengan diketahui oleh Abu Sufyan b. Harb – pergi menemui Abu Talib.
“Abu Talib,” kata mereka, “kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia.”
Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali. Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.
Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai ‘Umara bin’l-Walid bin’l-Mughira, seorang pemuda yang montok dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka. Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan Quraisypun terus juga berkomplot.
Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.
“Abu Talib'” kata mereka, “Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita – sebelum kausuruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”
Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus dilakukannya?
Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. Lalu katanya: “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”
Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?
Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah rmanusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau ragu-ragu.
Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:
“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya.”
Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri dihadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Airmatanya terasa menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang ditempuhnya itu.
Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya: “Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar